Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nilai Budaya dalam Cerita Pendek yang Dimuat dalam Lampor: Buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1994

 Part 1


Pendahuluan

       Karya sastra merupakan karya seni, hasil kegiatan kreatif, yang menggunakan Bahasa sebagai media ekspresi. Pengalaman, pikiran, ide, semangat, keyakinan, dan lain-lain diungkapkan sastrawan lewat Bahasa, baik lisan maupun tulisan. Menurut Sumardjo (1988:3) sastra adalah “ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat Bahasa.”

     Karya sastra memiliki nilai-nilai. Gagasan-gagasan atau pikiran-pikiran yang terkandung di dalam karya sastra itu merupakan sesuatu yang bernilai. Gagasan, pikiran, dan perasaan tersebut dapat berkenaan dengan hal apa saja, antara lain, agama, filsafat, ekonomi, atau seni (lihat Welek, 1993:319). Selain itu, keindahan struktur karya sastra itu sendiri merupakan nilai yang tinggi. Sumardjo (1988:13) mengatakan “Nilainya sebagai karya sastra tidak hanya terletak pada apa yang disampaikannya, akan tetapi juga pada cara dan bentuk penyampaiannya”. Karya sastra mengandung nilai-nilai pengalaman (experiental) yang berupa pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan sastrawan dan nilai seni yang berupa penguasaan sastrawan atas berbagai cara sehingga dapat menyampaikan isi hatinya dengan sempurna lewat karya sastra itu.

2.2 Cerita Pendek (Cerpen)

     Cerita pendek (cerpen) merupakan karangan  prosa rekaan yang pendek. Selain bentuk fisiknya yang memang pendek dan dapat habis dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam, cerita pendek mempunyai efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks (Sumardjo, 1988:30). Cerita pendek mengandung unsur yang memusat pada satu peristiwa pokok, padat, dan dalam keterbatasannya mampu menggambarkan karakter secara jelas dan dominan, seperti dikemukakan Hoerip (dalam Semi, 1988:34) bahwa cerita pendek adalah “karakter  yang ‘dijabarkan’  lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri”. Jadi, ide sentral sebuah cerita pendek berkisar pada tokoh sehingga dapat dikatakan bahwa membaca cerita pendek berarti berusaha memahami manusia atau tokohnya. Cerita pendek berjudul “Mendiang” karya S.N. Ratmana (lihat Sumardjo, 1988:66—75) dan “Jakarta” karya Totilawati Tjitrawasita (lihat Sudjiman, 1993:34—41), misalnya, merupakan cerita-cerita pendek yang didominasi karakter para tokoh atau pelaku.

     Cerita pendek tidak dapat ditentukan hanya dengan melihat bentuk fisiknya yang pendek. Ada jenis cerita yang pendek tetapi bukan cerita pendek (cerpen) antara lain: fable, parable, cerita rakyat, dan anekdot. Sumardjo (1988:36) mengatakan               

fable, yakni cerita yang pendek dengan tokoh-tokoh binatang dan mengandung ajaran moral. Juga parabel adalah cerita yang pendek yang mengandung ajaran-ajaran agama diambil dari bagian kitab suci. Kemudian cerita rakyat adalah juga cerita yang pendek tentang orang-orang atau peristiwa-peristiwa suatu kelompok suku atau bangsa yang diwariskan turun-temurun, biasanya secara lisan. Dan terakhir adalah anekdot, yakni cerita yang pendek berisi kisah lucu dan eksentrik dari tokoh-tokoh sejarah atau orang biasa baik nyata maupun rekaan saja.

 

     Sebuah cerita pendek (cerpen) harus dilihat secara utuh dan lengkap. Cerita pendek yang utuh dan lengkap mengandung unsur-unsur: peristiwa cerita (alur), tokoh cerita, tema, latar (setting), sudut pandang, dan gaya pengarang. Umumnya cerita pendek didominasi salah satu unsur saja (karakter, misalnya) tetapi bukan berarti unsur yang lain ditiadakan.

     Suatu cerita fiksi yang relative pendek, memiliki efek (kesan) tunggal karena karakter, plot, dan setting yang terbatas (tidak beragam dan tidak kompleks), padat, dan dalam keterbatasannya mampu menggambarkan karakter secara jelas dan dominan, itulah deskripsi sebuah cerita pendek.

 

2.3 Tema dan Amanat

2.3.1 Tema

     Sama halnya dengan cerita-cerita fiksi lain, cerita pendek  dibangun dari sebuah gagasan pokok atau gagasan utama. Konflik demi konflik sengaja diciptakan dalam sebuah cerita untuk mengungkapkan gagasan utama yang biasanya disebut tema. Menurut Tjahjono (1988:158) tema adalah “ide dasar yang bertindak sebagai titik tolak keberangkatan pengarang dalam menyusun sebuah cerita.”

     Tema sebuah cerita dapat berkenaan dengan persoalan apa saja. Tema dapat berupa persoalan atau masalah idaman remaja, kesetiaan, ketakwaan, korupsi, kerukunan antarumat beragama, kesunyian, cinta, dan lain-lain. Menurut Esten (1987a:22--23)

     Sebuah tema yang baik, nampaknya mungkin sederhana saja. Misalnya tentang tema cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhatan” karya Umar Khayam: kesunyian di tengah-tengah hiruk-pikuk kota metropolitan. Masalahnya sederhana tapi betul-betul dirasakan sebagai persoalan kemanusiaan di tengah-tengah kemajuan teknologi. Luas dan dalam. Begitu juga cerpen “Penjual Kapas” Abnar Romli, yang dimuat majalah sastra “Horison” Jakarta. Tentang pertentangan-pertentangan kejiwaan yang diwlami seorang penjual kapas untuk mayat. Ia mendapat pencaharian dari kematian orang lain.

 

Tema sebuah karya sastra (dalam hal ini cerita pendek) tidak selalu berupa persoalan yang sudah biasa terjadi dan dirasakan masyarakat. Tema cerita yang berupa persoalan baru, yang sebelumnya masih merupakan sisi gelap kehidupan, biasanya lebih menarik. Pembahasan terhadap persoalan yang bersifat baru tersebut dapat memperkaya batin pembaca dengan pengalaman baru yang sangat berguna dalam menghadapi kehidupan ini.

 

2.3.2 Amanat

     Amanat berhubungan erat dengan tema cerita. Amanat merupakan “pemecahan dan jalan keluar yang diberikan oleh pengarang di dalam sebuah karya sastra terhadap tema yang dikemukakan.” (Esten, 1987b:87). Amanat yang bagus tentu saja harus mampu membuka kemungkinan-kemungkinan penyelesaian persoalan (tema) yang diungkapkan dalam erita.

     Amanat “dapat diungkapkan secara eksplisit (terang-terangan) dan dpat pula secara implisit (tersirat)” (Esten, 1987a:22). Dengan demikian, amanat tidak selalu mudah dirumuskan. Amanat yang diungkapkan secara implisit itu biasanya sulit dirumuskan. (Esten, 1987b:88) mengatakan

Kemungkinan yang menyukarkan adalah bahwa ada kaanya amanat diungkapkan secara implisit, secara tersirat. Tidak selamanya amanat diungkapkan secara  jelas (eksplisit). Sesuatu yang kurang jelas bisa mengundang kekaburan, sesuatu yang kabur mengundang makna ganda, ambiguiti. Namun amanat yang demikian tentulah tetap amanat yang bukan tidak bisa dipegang. Itulah amanatnya.

 

Dalam cerita pendek modern, umumnya, amanat diungkapkan secara tersirat di dalam keseluruhan cerita. Dalam hal ini pembaca dituntut untuk dapat menafsirkan sendiri amanat apa yang dikemukakan pengarang dalam karyanya. Amanat cerita pendek “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis, misalnya, diungkapkan secara tersirat. Amanat cerita pendek tersebut adalah: manusia hendaklah berusaha untuk kepentingan dunia dan akhirat, jangan hanya berysaha untuk akhirat hingga meninggalkan urusan dunia. Jadi, kepentingan dunia dan akhirat hendaklah diusahakan secara seimbang.

 


Post a Comment for "Nilai Budaya dalam Cerita Pendek yang Dimuat dalam Lampor: Buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1994"