Nilai Budaya Tawakal dalam Cerita Pendek Tamu dari Jakarta
Sikap berserah diri kepada Allah, antara lain, dimiliki tokoh Atik, dan suaminya dalam cerita pendek Tamu dari Jakarta. Atik dan suaminya kedatangan Ratna dari Jakarta, yang bukan lain adalah sahabat mereka yang sudah sangat lama menghilang. Atik dan suaminya menyambut baik sahabat lama yang sudah dianggap keluarga sendiri itu tetapi di luar dugaan mereka, Ratna menipu mereka. Ratna meminjam uang mereka tanpa mengembalikannya, seperti terungkap dalam kutipan berikut.
Sulit bagi Atik --dan bagi saya juga--
untuk menerima kenyataan bahwa Ratna telah
melakukan perbuatan tercela. Tapi nyatanya
ia telah meminjam uang dengan alasan membeli
barang yang tak pernah benar-benar dibelinya.
Nyatanya dia datang dari Solo cuma untuk berkeliling
pasar serta pusat-pusat pertokoan
dan tak ada seorang putri Sunan pun yang harus
ditemuinya. Nyatanya dia mengatakan
akan pergi ke Semarang sementara suaminya
mengatakan ke Surabaya.
Dan nyatanya, setelah hampir setiap hari
selama tiga bulan lebih Atik mondar-mandir
ke bank, tak pernah ada kabar kiriman uang
dari Jakarta yang masuk ke dalam rekening
tabungannya! Ratna menghilang meninggalkan hutang (Tamu dari Jakarta: 35).
Tentu saja Atik dan suaminya merasa sangat kecewa atas sikap Ratna itu. Bagi mereka uang enam ratus ribu itu sangat penting. Selain itu, yang lebih mengecewakan hati mereka adalah perlakuan Ratna. Semestinya Ratna dapat berterus terang dan bicara baik-baik bila perlu bantuan. Tentu saja Atik dan suaminya bersedia membantu bila memang mampu membantu.
Akhirnya, untuk menenangkan hati mereka berserah diri kepada Allah. Mereka berusaha mengikhlaskan uang mereka dan menyerahkan permasalahan tersebut kepada Allah. Atik dan suaminya yakin bahwa Allah selalu mengawasi hamba-hamba-Nya dan maha dan bijaksana membalas setiap perbuatan hamba-Nya. Perhatikan kutipan beikut.
MINGGU berganti minggu, bulan berganti
bulan. Sesungguhnya akhirnya kami bersepakat
mengikhlaskan uang kami.
"Tertipu memang tidak enak, tapi toh
tidak berdosa. Yang berdosa kan yang menipu,"
begitulah saya selalu menghibur Atik kalau
tiba-tiba amarahnya kumat, begitu pula Atik
selalu menghibur saya kalau malam-malam saya
bermimpi mencekik leher Ratna (Tamu dari Jakarta: 55)
Sikap berserah diri kepada Allah seperti dilakukan Atik dan suaminya tentu dapat dimaklumi dan diterima sebagai sikap yang wajar bahkan mulia. Suami-istri itu sudah cukup berusaha menjaga hak milik mereka. Sebelum datang Ratna, mereka telah menyimpan uang tersebut di bank dan tidak pernah mereka ambil kecuali untuk keperluan darurat. Atik mengambil uang tersbut untuk dipinjamkan kepada Ratna yang sangat memerlukannya, teernyata Ratna menipunya. Atik dan suaminya masih berusaha keras agar uang tersebut kembali meskipun tidak berhasil. Perhatikan kutipan berikut.
Dan nyatanya, sudah hampir setiap hari
selama tiga bulan lebih Atik mondar-mandir
ke bank, tak pernah ada kabar adanya kiriman
uang dari Jakarta yang masuk dalam
rekening tabungannya! Ratna menghilang
meninggalkan hutang (Tamu dari Jakarta : 35)
Dalam hal ini Atik sudah cukup berusaha tetapi tidak berhasil juga. Yang pasti, dari pengalaman mereka itu dapat dipetik hikmah yang sangat berguna, yakni perlu hati-hati dan waspada di hari-hari selanjutnya.
Post a Comment for "Nilai Budaya Tawakal dalam Cerita Pendek Tamu dari Jakarta"
Silakan tulis jenis INFORMASI yang Anda inginkan ada di blog ini.
Saya sangat respek karena Anda bukan SPAMER. Terima kasih.