Sajak Usang
Sajak- sajak Bomanto
Nyanyian Sembilu
Sembilu bermain di hati
setiapkali langit warna-warni sebatas mimpi
dan sekedar dongeng pagi hari. Sungguh aku juga
sangat rindukan langit biru dihiasi warna-warni
tetapi jemari kerdil ini tak cukup sakti menyentuhnya
apalagi menghiasinya dengan gambar hati. Selalu saja
aku gagal melukis sekerat senyum atau tawa
di antara kumandang takbir dan tahmid
yang bertaut mesra. Hanya sembilu
bermain di hati karena ayah bundaku pergi pagi sekali
sebelum sempat menggenggam jemariku
menyusuri pagi yang berkerikil dan berbatu-batu ini.
Simpang, September 2009
Nyanyian Bebatuan
Relief di bebatuan masih terus berkisah
tentang raja-raja penabur benih pepadian di tanah subur
kepada setiap air yang datang dari segala penjuru
manakala tulisanmu di pasir sudah terhapus ombak
di beberapa musim lalu. Cahaya yang teramat sakti mengusir gulita
dan bersahabat dengan embun itu mestinya dilimpahkan di bebatuan
karena pasir pantai dan buih-buih di lautan hanya bersahabat dengan arus
yang selalu menetaskan sembilu.
Simpang, Septamber 2009
Nyanyian Dayung
Dayung mesti terus bernyanyi
karena sampan diburu pilu. Bernyanyilah, Nak.
Menarilah. Di persembunyiannya, kelabu senja
tak pernah lengah mengintaimu: menunggu
saat yang paling tepat untuk menenggelamkanmu
di menit-menit penuh rahasia. Bernyanyilah, Nak.
Menarilah. Selagi pagi masih terbentang luas
Dan bayang-bayang belum mendekat pulang.
Sia-sia menunggu. Semua jalan berhias liku,
Duri tajam dan batu-batu yang siap melukai sampanmu,
Tetapi ksatria pantang menyurutkan langkah, Nak.
Bernyanyilah. Menarilah. Dayung yang membeku
Tak ayal juga disapa dan dipukul ombak: justru
Hancur tak bertanda tak bermakna.
Kayuhlah. Dayung mesti terus bernyanyi
Dalam sinarmata lurus ke depan menggapai impian.
Simpang, 23 Mei 2008
Belum Satu Halaman pun Terbuka
Mengapa belum satu halaman pun terbuka
sejak kauambil dari rak-rak buku
di tepi jalan? Debu tebal dan sarang laba-laba
mengunci benakmu yang selalu redup
dan terasing. Rindu sudah lama hilang
dan mukamu selalu berpaling.
Di setiap perjumpaan hanya tampak punggung
yang berpijak gunung. Padahal, halaman itu
menyimpan wajah-Nya. Tidakkah kau mengenal
nada-nada rindumu yang mendambakan pencipta?
Belum satu halaman pun terbuka
untuk kau baca. Rayap mengunyah huruf demi huruf
dan membangun istananya.
Simpang, 26 Mei 2008
Setiap Perahu Pasti Menuju Dermaga
Setiap perahu yang berlayar di laut
sama sekali tak bisa mengelak panggilan dermaga
meski sudah berlayar sangat jauh ke negeri entah
dan meraih matahari bermandikan gemerlap bintang
sehingga perahu tak perlu menghadiahkan punggung
dan pundak yang menggunung apalagi berani menistanya.
Gemerlap ombak maupun sinfoni angin
yang senantiasa membuai nafasmu tak perlu meninabobokan cinta
karena dalam sekejap saja keteduhannya menghilang
direnggut senja. Setiap perahu pasti menuju dermaga abadi
yang damai dan bebas dari segala ombak
dan senantiasa menyuguhkan kelaleluasaan menikmat bekal
yang terkumpul selama perjalanan.
Simpang, 2009
Nyanyian Sembilu
Sembilu bermain di hati
setiapkali langit warna-warni sebatas mimpi
dan sekedar dongeng pagi hari. Sungguh aku juga
sangat rindukan langit biru dihiasi warna-warni
tetapi jemari kerdil ini tak cukup sakti menyentuhnya
apalagi menghiasinya dengan gambar hati. Selalu saja
aku gagal melukis sekerat senyum atau tawa
di antara kumandang takbir dan tahmid
yang bertaut mesra. Hanya sembilu
bermain di hati karena ayah bundaku pergi pagi sekali
sebelum sempat menggenggam jemariku
menyusuri pagi yang berkerikil dan berbatu-batu ini.
Simpang, September 2009
Nyanyian Bebatuan
Relief di bebatuan masih terus berkisah
tentang raja-raja penabur benih pepadian di tanah subur
kepada setiap air yang datang dari segala penjuru
manakala tulisanmu di pasir sudah terhapus ombak
di beberapa musim lalu. Cahaya yang teramat sakti mengusir gulita
dan bersahabat dengan embun itu mestinya dilimpahkan di bebatuan
karena pasir pantai dan buih-buih di lautan hanya bersahabat dengan arus
yang selalu menetaskan sembilu.
Simpang, Septamber 2009
Nyanyian Dayung
Dayung mesti terus bernyanyi
karena sampan diburu pilu. Bernyanyilah, Nak.
Menarilah. Di persembunyiannya, kelabu senja
tak pernah lengah mengintaimu: menunggu
saat yang paling tepat untuk menenggelamkanmu
di menit-menit penuh rahasia. Bernyanyilah, Nak.
Menarilah. Selagi pagi masih terbentang luas
Dan bayang-bayang belum mendekat pulang.
Sia-sia menunggu. Semua jalan berhias liku,
Duri tajam dan batu-batu yang siap melukai sampanmu,
Tetapi ksatria pantang menyurutkan langkah, Nak.
Bernyanyilah. Menarilah. Dayung yang membeku
Tak ayal juga disapa dan dipukul ombak: justru
Hancur tak bertanda tak bermakna.
Kayuhlah. Dayung mesti terus bernyanyi
Dalam sinarmata lurus ke depan menggapai impian.
Simpang, 23 Mei 2008
Belum Satu Halaman pun Terbuka
Mengapa belum satu halaman pun terbuka
sejak kauambil dari rak-rak buku
di tepi jalan? Debu tebal dan sarang laba-laba
mengunci benakmu yang selalu redup
dan terasing. Rindu sudah lama hilang
dan mukamu selalu berpaling.
Di setiap perjumpaan hanya tampak punggung
yang berpijak gunung. Padahal, halaman itu
menyimpan wajah-Nya. Tidakkah kau mengenal
nada-nada rindumu yang mendambakan pencipta?
Belum satu halaman pun terbuka
untuk kau baca. Rayap mengunyah huruf demi huruf
dan membangun istananya.
Simpang, 26 Mei 2008
Setiap Perahu Pasti Menuju Dermaga
Setiap perahu yang berlayar di laut
sama sekali tak bisa mengelak panggilan dermaga
meski sudah berlayar sangat jauh ke negeri entah
dan meraih matahari bermandikan gemerlap bintang
sehingga perahu tak perlu menghadiahkan punggung
dan pundak yang menggunung apalagi berani menistanya.
Gemerlap ombak maupun sinfoni angin
yang senantiasa membuai nafasmu tak perlu meninabobokan cinta
karena dalam sekejap saja keteduhannya menghilang
direnggut senja. Setiap perahu pasti menuju dermaga abadi
yang damai dan bebas dari segala ombak
dan senantiasa menyuguhkan kelaleluasaan menikmat bekal
yang terkumpul selama perjalanan.
Simpang, 2009