Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NILAI BUDAYA SUKA BERDOA DALAM CERPEN DARI PARIS

      Nilai budaya suka berdoa yang terdapat dalam cerita pendek Dari Paris karya Harris Effendi Thahar diuangkapkan lewat tokoh Kasim, lelaki berusia hampir delapan puluh tahun. Duda pensiunan guru SD ini tetap tekun beribadah meskipun kekuatasn fisiknya sudah sangat jauh berkurang. Ia mengerjakan kegiatan tersebut atas kesadaran sendiri tanpa paksaan orang lain. Ayah Alwi itu tampak begitu menyadari bahwa ibadah merupakan pagian paling penting dalam hidup manusia, karena ibadah merupakan salah satu bukti rasa terima kasih manusia kepada penciptanya. Sehabis beribadah, seperti salat wajib lima waktu sehari semalam, tentu saja Pak Kasim memanjatkan doa kepada Allah. Bahkan membaca doa itu un sudah termasuk ibadah.

     Sifat suk berdoa ini telah melekat pada diri Pak Kasim sehingga hal tersebut tetap dilakukannya sampai menjelang akhir hayatnya. Malam itu Pak Kasim berusaha menelepon Alwi, anaknya, tetapi anak laki-lakinya satu-satunya itu sedang berada di Paris dan suara Pak asim disambut pembaantu Alwi saja. Pak Kasim meninggal dunia setelah menulis pesan untuk Alwi. Perhatikan kutipan berikut.


   

 Lelaki tua itu pasrah. Membaca doa-doa.

Semuanya menjadi gelap. Lalu ia merasa

melayang-layang. Tenaganya hilang lenyap.

Badannya serasa kapas, terombang ambing

dibawa angin sejuk yang aneh. Lelaki itu

menangkap cahaya lembut dan jalan lempang 

tanpa ujung. Tetapi telepon berdering. Ia

tak punya keinginan apa-apa untuk mengangkat

gagang telepon itu lagi

(Dari Paris: 28)


Pak Kasim tentu saja percaya bahwa doa-doanya didengar oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Post a Comment for "NILAI BUDAYA SUKA BERDOA DALAM CERPEN DARI PARIS"